Bruksisme adalah kebiasaan menggemeretakkan gigi atas dan bawah yang dapat merusak gigi, nyeri pada otot pengunyahan, hingga gangguan kesehatan lainnya.
Bruxism, atau dalam Bahasa Indonesia bruksisme, merupakan aktivitas otot pengunyahan berulang ditandai dengan munculnya kebiasaan yang dilakukan secara tidak sadar dengan menggemeretakkan gigi atas dan bawah secara berlebihan ketika sistem pengunyahan sedang tidak digunakan. Seseorang dapat dikatakan mengalami bruksisme jika kebiasaan tersebut berlangsung lebih dari empat kali per jam.
Umumnya bruksisme dapat dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa. Namun di Indonesia, bruksisme pada anak memiliki prevalensi yang lebih besar, yaitu sebanyak 14-18 persen. Sedangkan prevalensi bruksisme pada usia dewasa sebanyak 8 persen dan pada lansia hanya 3 persen. Pada anak dan individu dengan kebutuhan khusus, prevalensi terjadinya bruksisme jauh lebih besar, yaitu mencapai 44 persen.
Meski kebiasaan menggemeretakkan gigi kerap terjadi ketika tidur (sleep bruxism), kondisi ini juga dapat dilakukan secara tidak sadar ketika terjaga, disebut juga sebagai awake bruxism. Pada anak-anak, bruksisme lebih sering dilakukan saat tidur. Namun sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan ini dapat berkurang ketika si kecil menginjak usia 9-10 tahun. Jika pada usia tersebut kebiasaan bruksisme si kecil telah berhenti, maka bruksisme tidak akan berlanjut hingga dewasa.
Bruksisme umumnya terjadi bukan tanpa sebab, terdapat beberapa faktor penyebab kebiasaan bruksisme, antara lain:
Dari banyaknya penyebab bruksisme, faktor psikologis menjadi yang paling berpengaruh. Hal ini berhubungan dengan adanya stres fisik dan emosional, seperti tingkat kecemasan (anxiety) yang berlebihan pada si kecil serta kualitas tidur yang kurang baik. Anak dengan kondisi keluarga yang tidak baik, misalnya sering mendengar keributan orang tua atau adanya masalah di sekolah, sering memiliki kebiasaan bruksisme terutama pada malam hari atau sleep bruxism.
Faktor lokal meliputi adanya kontak yang tidak baik antara gigi atas dan gigi bawah. Kebiasaan buruk yang berlangsung lama seperti menggigit pensil dan menggigit kuku juga dapat meningkatkan risiko munculnya kebiasaan bruksisme.
Faktor ini meliputi adanya tonsil (amandel) yang membesar sehingga menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan atas, refluks lambung, serta dampak dari terapi pengobatan psikotropik. Anak dengan kebutuhan khusus seperti autis, cerebral palsy, retardasi mental, dan anak hiperaktif juga kerap memiliki kebiasaan bruksisme.
Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peran genetik pada kebiasaan bruksisme. Pada sejumlah kasus, anak dengan kebiasaan bruksisme memiliki anggota keluarga yang juga memiliki kebiasaan sama.
Baca juga: Gigi Ngilu Bikin Tak Nyaman? Cari Tahu Penyebabnya, Yuk!
Orang tua dengan anak yang memiliki kebiasaan bruksisme, terutama jika giginya telah berganti menjadi gigi permanen, sebaiknya tidak abai. Memeriksakan si kecil ke dokter gigi spesialis kedokteran gigi anak secara rutin menjadi hal yang harus dilakukan, sehingga si kecil mendapatkan penanganan yang tepat.
Jika dibiarkan tanpa observasi dan penanganan, dampak buruk dari bruksisme yang dapat dialami si kecil antara lain:
Penegakan diagnosis dan evaluasi klinis pada bruksisme merupakan rangkaian pemeriksaan yang kompleks. Dokter gigi spesialis kedokteran gigi anak akan melakukan pemeriksaan subjektif kepada si kecil, menanyakan riwayat kebiasaan bruksisme, analisis riwayat medis, hingga pemeriksaan klinis dan pemeriksaan dengan alat intraoral.
Pada pemeriksaan lebih lanjut, dokter gigi akan mengevaluasi aktivitas otot dengan menggunakan alat khusus. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya bruksisme sehingga dokter gigi dapat memberikan penanganan yang tepat. Jika bruksisme muncul akibat adanya gangguan psikologis, dokter gigi akan mengarahkan orang tua untuk memeriksakan si kecil kepada psikolog.
Meskipun bruksisme umumnya dapat hilang seiring dengan pertumbuhan si kecil, orang tua sebaiknya tetap waspada dan mencari bantuan medis jika kebiasaan ini tidak kunjung membaik. Penting untuk mengajarkan dan membiasakan si kecil dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. Rutin mengajak si kecil memeriksakan gigi ke dokter gigi dan mulut tanpa harus menunggu adanya keluhan juga merupakan langkah penting untuk mencegah komplikasi dan memastikan kesehatan gigi dan mulut secara optimal.