Oleh Tim RS Pondok Indah
HIV/AIDS sering kali tidak menunjukkan keluhan pada awal perjalanan penyakitnya. Padahal kondisi ini bisa saja diringankan jika dikenali dan ditangani sedini mungkin.
Normalnya tubuh manusia memiliki sistem perlindungan alami untuk melawan infeksi maupun penyakit, yang dikenal dengan sistem kekebalan tubuh. Beberapa kondisi bisa saja membuat sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, sehingga tubuh mudah terinfeksi maupun terkena penyakit lain, yang bisa membahayakan bahkan berakibat fatal. Salah satu kondisi yang bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh adalah infeksi HIV/AIDS.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah salah satu jenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan merusaknya, sehingga penderitanya akan lebih rentan terserang infeksi maupun penyakit lain.
Sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV, yang menyebabkan tubuh penderitanya tidak mampu melawan infeksi yang ditimbulkan.
Jadi, HIV adalah virus penginfeksinya, sedangkan AIDS adalah kondisi yang dialami penderitanya jika virus HIV tidak mendapatkan penanganan dengan tepat. Seseorang yang terinfeksi HIV bisa saja berkembang menjadi AIDS dalam 10 tahun jika tidak ditangani dengan tepat.
Baca juga: Dampak Serius HPV pada Pria: Cara Penularan dan Gejala yang Harus Diketahui
HIV bisa saja menginvasi tubuh Anda tanpa menyebabkan gejala apa pun, apalagi di tahap awal. Padahal penanganan dini bisa mencegah kematian akibat infeksi virus yang termasuk dalam kelompok retrovirus. Jadi, kenali berbagai gejala HIV/AIDS berdasarkan tahapan infeksinya, sebagai berikut ini:
Pada fase ini, penderita HIV umumnya tidak merasakan keluhan yang khas. Kebanyakan penderitanya akan merasa seperti akan terkena flu sekitar 1-2 bulan setelah terinfeksi. Namun, semua gejala tersebut akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu beberapa minggu hingga bulan dari waktu keluhan pertama kali dirasakan.
Beberapa keluhan HIV di fase ini kebanyakan dirasakan sebagai:
Apabila HIV dideteksi sejak tahapan awal ini, semakin efektif pula pengobatan yang dapat dilakukan. Selain mencegah infeksi HIV berkembang menjadi AIDS bahkan menimbulkan komplikasi, deteksi dini juga dapat menurunkan risiko penularan HIV pada orang lain. Oleh sebab itu, bila Anda atau orang tercinta mengalami gejala di atas, segera konsultasikan dan periksakan dengan dokter spesialis penyakit dalam.
Umumnya, HIV tidak menimbulkan gejala lebih lanjut selama bertahun-tahun sejak pertama kali terinfeksi. Kondisi ini bisa saja berlangsung selama lebih dari 10 tahun. Dalam jangka waktu ini, virus HIV terus menyebar dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Meski tidak menyebabkan gejala yang lebih parah, penderita HIV bisa menularkan infeksi virus ini ke orang lain pada fase kronis.
Beberapa gejala pada infeksi HIV tahap kedua ini umumnya menyerupai gejala pada tahap pertama. Namun ada juga yang merasakan keluhan yang lebih parah. Berikut ini adalah beberapa gejala HIV pada tahap kedua yang kebanyakan dikeluhkan penderitanya:
Ketika infeksi HIV terlambat dikenali dan ditangani dengan tepat, kondisi akan makin memburuk hingga memasuki tahap ketiga atau fase akhir dari penyakit HIV yang juga dikenal sebagai AIDS. Penderita AIDS memiliki daya tahan tubuh yang lemah, sehingga mudah sakit, dan akan sering mengalami infeksi yang sulit disembuhkan.
Selain sering terserang penyakit maupun infeksi, orang dengan HIV/AIDS akan mengeluhkan beberapa gejala berikut ini:
Baca juga: Waspadai Keputihan Tidak Normal dan Tangani Sedini Mungkin
HIV/AIDS disebabkan oleh virus HIV. Diketahui terdapat 2 jenis virus HIV, yakni HIV-1 dan HIV-2. Hampir 90% kasus HIV disebabkan oleh virus HIV-1.
Cara penularan HIV paling banyak dilaporkan melalui kontak seksual atau berhubungan intim, termasuk kasus penularan yang ditemukan di Indonesia. Selain melalui hubungan seksual, penularan HIV juga bisa terjadi melalui:
Perlu diingat bahwa HIV tidak menyebar melalui kontak kulit seperti berjabat tangan atau berpelukan dengan penderita. Penularan juga tidak terjadi melalui kontak ludah dengan ludah maupun gigitan nyamuk. Berbagi alat makan dan berciuman juga tidak menularkan infeksi HIV, kecuali penderita mengalami sariawan, gusi berdarah, atau memiliki luka terbuka di mulut.
Baca juga: Sariawan Atau Kanker Mulut? Menengok Perbedaan Sariawan dan Kanker Mulut
Semua orang bisa saja terinfeksi HIV, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa kondisi yang meningkatkan risiko terinfeksi virus ini. Beberapa faktor risiko HIV/AIDS adalah sebagai berikut ini:
Baca juga: Cari Tahu Tips Pertolongan Pertama Demam Tinggi pada Orang Dewasa
Guna memberikan penanganan yang tepat, dokter spesialis penyakit dalam perlu menegakkan diagnosis HIV/AIDS dengan tepat. Diawali dengan proses anamnesis, dokter kemudian akan melakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan infeksi HIV.
Skrining HIV yang merupakan proses lanjutan akan dilakukan dengan mengambil sampel darah atau urine pasien untuk diperiksa di laboratorium. Beberapa pemeriksaan atau tes HIV yang akan dilakukan, antara lain:
Dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan tubuh dalam melawan infeksi HIV. Meski akurat, tes ini perlu dilakukan dalam 2–8 minggu setelah terinfeksi, agar jumlah antibodi dalam tubuh cukup tinggi untuk terdeteksi saat pemeriksaan.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mendeteksi protein p24 yang menjadi bagian dari virus HIV. Tes antigen-antibodi bisa dilakukan 2–4 minggu setelah pasien terinfeksi virus HIV.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV di dalam tubuh dan dapat dilakukan 10 hari setelah terinfeksi. Tes asam nukleat juga dikenal sebagai tes RNA.
Bila hasil skrining menunjukkan hasil yang positif atau HIV positif, maka dokter akan menyarankan tes lebih lanjut. Selain untuk memastikan hasil skrining, tes lanjutan ini akan membantu dokter mengetahui tahap infeksi yang diderita sekaligus menentukan metode pengobatan HIV/AIDS yang tepat.
Tes lanjutan untuk pasien HIV/AIDS juga dilakukan menggunakan pengambilan sampel darah. Beberapa tes lanjutan HIV yang dilakukan biasanya meliputi:
CD4 adalah bagian dari sel darah putih yang dihancurkan oleh HIV. Makin sedikit jumlah CD4, makin besar pula kemungkinan seseorang menderita AIDS. Jumlah CD4 normal adalah sebanyak 500–1400 sel/mm3. Bila hasil hitung sel CD4 didapatkan kurang dari 200 sel/mm3, bisa dikatakan penderita HIV telah memasuki fase terakhir atau mengalami AIDS.
Jumlah virus di dalam tubuh digambarkan dengan jumlah RNA (materi genetik virus). Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperkirakan jumlah virus di dalam tubuh penderita HIV. Selain itu, tes ini bertujuan untuk menilai efektivitas terapi HIV. Berikut ini adalah penjelasan singkat dari hasil pemeriksaan viral load:
Terapi HIV akan diteruskan sampai hasil tes viral load tidak terdeteksi atau kurang dari 20 kopi/mL. Hasil pemeriksaan viral load yang tidak terdeteksi akan menurunkan risiko terjadinya komplikasi HIV/AIDS secara signifikan.
Beberapa subtipe HIV diketahui kebal terhadap obat anti-HIV. Untuk memberikan pengobatan yang sesuai, dokter akan meminta pasien melakukan pemeriksaan ini.
Baca juga: Mengenal Apa itu Infeksi, Mulai dari Cara Penularan hingga Cara Pencegahannya
Meski sampai saat HIV belum bisa disembuhkan, tetapi pengobatan HIV/AIDS efektif dapat memperlambat perkembangan virus. Dokter spesialis penyakit dalam akan menyarankan terapi antiretroviral (ARV) untuk mencapai tujuan ini. ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan oleh virus HIV untuk menggandakan diri dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4.
Selain obat antiretroviral, pengobatan infeksi HIV juga akan melibatkan antivirus lainnya, untuk meningkatkan efektivitas obat. Agar hasil pengobatan optimal, konsumsilah obat sesuai dengan arahan dokter.
Selama dalam masa pengobatan dengan obat ARV, dokter akan memantau kadar viral load dan sel CD4 untuk menilai respon pengobatan. Pemeriksaan hitung sel CD4 akan dilakukan tiap 3–6 bulan, sedangkan pemeriksaan viral load dilakukan sejak awal pengobatan dan dilanjutkan tiap 3–4 bulan selama masa pengobatan.
Selain kedua obat tersebut, dokter juga bisa meresepkan obat antijamur, obat penurun demam, maupun peningkat nafsu makan untuk meredakan gejala HIV/AIDS maupun penyakit penyertanya.
Kondisi kekebalan tubuh yang makin lemah karena infeksi HIV akan menyebabkan penderitanya lebih rentan terserang berbagai penyakit, termasuk infeksi oportunistik bahkan kanker. Beberapa komplikasi HIV/AIDS banyak terjadi, meliputi:
Baca juga: TBC Tulang, Kenali Penyebab dan Gejalanya
Menerapkan perilaku seksual yang sehat merupakan kunci utama pencegahan HIV/AIDS. Selain itu, ada beberapa upaya yang bisa Anda lakukan untuk mencegah penularan HIV dan AIDS, antara lain:
Selain itu, periksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam untuk memastikan kondisi dan mendapatkan penanganan yang tepat terkait infeksi HIV, sebelum kondisi ini berkembang menjadi AIDS, bahkan menyebabkan komplikasi yang lebih parah.
RS Pondok Indah akan menyediakan layanan medis yang komprehensif untuk meningkatkan kesehatan Anda, sehingga upaya pencegahan HIV/AIDS bisa lebih optimal. Selain itu, dengan penanganan yang komprehensif, penanganan HIV/AIDS juga akan lebih optimal.
Infeksi HIV biasanya baru mulai menampakkan gejala yang spesifik setelah 2-10 tahun setelah infeksi awal. Gejala umum awal infeksi HIV, seperti demam, ruam, atau pembengkakan kelenjar bisa muncul 2-4 minggu setelah terinfeksi. Namun, fase tanpa gejala (laten klinis) dapat berlangsung 5-10 tahun atau lebih sebelum HIV menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh secara signifikan.
Tanpa pengobatan, HIV dapat berkembang menjadi AIDS dalam waktu sekitar 10-15 tahun, tergantung pada kondisi tubuh dan kekuatan sistem imun penderita. Dengan terapi antiretroviral (ARV) yang tepat, perkembangan HIV menjadi AIDS dapat dicegah atau sangat diperlambat.
AIDS merupakan penyakit yang berbahaya, karena menghancurkan sistem kekebalan tubuh. Penyakit ini membuat penderita rentan terhadap infeksi oportunistik yang seharusnya bisa dilawan tubuh. Dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, penyakit sederhana pun bisa menjadi mematikan bagi penderita AIDS.
HIV/AIDS menyerang dan menghancurkan sel CD4, yang merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh. Ketika jumlah sel CD4 menurun drastis, tubuh kehilangan kemampuan melawan infeksi dan penyakit, sehingga penderita AIDS lebih mudah terserang berbagai infeksi oportunistik.
Penularan HIV tertinggi terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan penderita HIV, terutama jika ada luka atau infeksi menular seksual. Selain itu, HIV juga bisa ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh penderitanya dengan cara berbagi jarum suntik, transfusi darah yang terkontaminasi virus HIV. Penularan juga bisa terjadi dari ibu ke anak saat kehamilan, persalinan, maupun menyusui.
Referensi: