Ketuban pecah dini merupakan pecahnya selaput ketuban yang terjadi sebelum awitan (onset) persalinan. Simak penyebab, gejala dan cara penanganannya di sini.
Ketuban pecah dini merupakan salah satu kasus obstetri yang termasuk dilematis, karena kondisi ini kerap kali menimbulkan diskusi panjang antara dokter kandungan, dokter anak, dan tentunya keluarga pasien. Keputusan akhir yang diambil ini akan berpengaruh pada kondisi bayi saat lahir nantinya.
Ketuban memiliki peran yang sangat penting bagi tumbuh kembang janin, termasuk menjaga suhu tetap stabil, media transportasi elektrolit, dan memungkinkan janin tumbuh simetris. Ketuban juga berfungsi untuk mencegah tali pusat tertekan tubuh janin maupun dinding rahim, sehingga aliran darah tetap lancar. Selain itu, ketuban berfungsi mencegah bayi mengalami cedera akibat guncangan dari luar serta meratakan kontraksi saat persalinan.
Memang normalnya ketuban akan pecah saat terjadi proses persalinan. Namun, jika ketuban sudah pecah terlebih dahulu tanpa diikuti atau sedang dalam proses persalinan, kondisi ini merupakan suatu kegawatdaruratan obstetrik yang dikenal dengan istilah ketuban pecah dini.
Dikatakan kantung ketuban pecah dini, premature rupture of membranes (PROM), ketika selaput ketuban pecah sebelum proses persalinan terjadi, atau sebelum usia kehamilan menginjak minggu ke-37.
Selaput ketuban terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan amnion yang berada di dalam dan lapisan khorion yang berada di luar. Walaupun selaput ketuban cukup tipis, tetapi lapisan ini kuat karena mengandung kolagen yang bersifat elastis. Ketuban dikatakan pecah bila amnion, khorion, atau keduanya pecah.
Meski tidak semua penyebabnya diketahui, beberapa kondisi dan faktor yang menjadi penyebab ketuban pecah dini adalah sebagai berikut ini:
Baca juga: Kaki Bengkak Saat Hamil Tua, Penyebab dan Cara Menguranginya
Keluarnya cairan dari vagina, baik yang perlahan-lahan maupun yang menyembur, perlu ibu hamil waspadai. Banyak ibu hamil mengira bahwa cairan yang keluar itu adalah urin, padahal bisa saja kondisi ini merupakan gejala ketuban pecah dini.
Sebagai langkah awal, ada baiknya ibu hamil mengambil kain untuk menyerap cairan tersebut guna memeriksakan apakah cairan tersebut urin atau ketuban. Selanjutnya, bedakan cairan yang keluar dengan mengenali beberapa ciri berikut ini:
Segera ke rumah sakit terdekat bila ibu hamil menemukan tanda-tanda yang keluar merupakan ketuban, tetapi belum memasuki waktu persalinan.
Baca juga: Keguguran Akibat Toksoplasma Mitos atau Fakta?
Penanganan ketuban pecah dini akan disesuaikan dengan usia kandungan. Terkadang, ketuban pecah dini terjadi pada usia kandungan yang masih sangat muda, sehingga lebih berbahaya untuk bayi.
Secara umum, penanganan ketuban pecah dini dibagi menjadi 3, sesuai dengan usia kehamilannya. Berikut ini adalah penjelasan singkat dari penanganan yang dimaksud:
Mengingat usia kehamilan masih sangat muda, dokter spesialis kebidanan dan kandungan akan memeriksa apakah janin mampu bertahan hidup. Kemudian, dokter akan berusaha mempertahankan kehamilan untuk memberi kesempatan paru bayi berkembang sampai sempurna. Penanganan untuk ketuban pecah dini pada usia kehamilan ini dikenal dengan istilah ekspektan.
Namun, keputusan ini hanya bisa dilakukan bila volume ketuban normal, tidak terjadi infeksi, dan tidak terjadi fetal distress atau gawat janin. Sembari menunggu perkembangan janin sempurna, ibu akan disarankan untuk bedrest total dan diresepkan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi disamping obat pematangan paru janin.
Bila semua persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka persalinan prematur terpaksa harus dilakukan. Tindakan ini disertai risiko paru janin belum matang, berat badan yang kurang, dan belum cukup umur, sehingga harus dirawat di NICU.
Penanganan ketuban pecah dini pada usia 34-36 minggu pada umumnya sama dengan penanganan saat usia kandungan kurang dari 34 minggu. Hanya saja, pilihan penanganan pada usia kehamilan ini akan diserahkan kepada pasien, setelah dokter akan memeriksa kondisi bayi dan menjelaskan risiko penanganan yang akan dipilih.
Bila usia kandungan sudah lebih dari 36 minggu, dokter akan melakukan tindakan aktif atau menyarankan untuk memulai proses persalinan. Bahkan, dokter dapat menyarankan induksi apabila belum ada tanda-tanda melahirkan.
Pada usia kehamilan ini berat bayi sudah cukup dan paru-parunya pun sudah cukup matang. Namun, tindakan aktif juga akan dipertimbangkan ulang bagi ibu hamil yang mengidap diabetes, mengingat kemungkinan perkembangan paru janin lebih lama.
Baca juga: NIPT: Skrining Risiko Kelainan Bawaan Genetik Janin dalam Kandungan
Ketuban pecah dini termasuk kasus kegawatdaruratan obstetri, karena kondisi ini bisa menyebabkan komplikasi ketika tidak ditangani dengan segera. Beberapa komplikasi yang merupakan bahaya ketuban pecah dini, antara lain:
Baca juga: Pemeriksaan Dini Demi Kesejahteraan Bayi
Meski tidak selalu bisa dicegah, menjaga kesehatan selama hamil bisa menurunkan kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini. Beberapa tindakan pencegahan ketuban pecah dini tersebut meliputi:
Untuk membantu mencegah komplikasi yang mungkin terjadi selama kehamilan, ibu hamil harus rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan.
Jika Anda curiga ataupun merasakan air ketuban pecah dini, segera pergi ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk penanganan dari dokter. Makin dini masalah ini ditangani, semakin tinggi pula peluang keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi.
Ketuban pecah dini (KPD) terjadi ketika kantung ketuban pecah sebelum waktunya melahirkan, meningkatkan risiko infeksi bagi ibu dan bayi. Jika terjadi sebelum 37 minggu, ini bisa menyebabkan kelahiran prematur. KPD memerlukan penanganan medis segera untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Jika ketuban pecah dini, segera cari bantuan medis, bahkan jika tidak ada kontraksi. Dokter akan mengevaluasi kondisi ibu dan bayi, mungkin memberikan antibiotik untuk mencegah infeksi dan obat untuk mempercepat perkembangan paru-paru bayi jika kehamilan belum cukup bulan.
Setelah air ketuban pecah, bayi biasanya dapat bertahan 24-48 jam tanpa risiko signifikan. Namun, dokter dapat memperpanjang masa kehamilan dengan perawatan medis jika kondisi ibu dan bayi stabil, untuk mengurangi risiko infeksi atau komplikasi lainnya.