ADHD adalah gangguan perkembangan saraf yang menyebabkan penderitanya kesulitan dalam mengontrol emosi, berpikir, maupun bertindak. Simak selengkapnya di sini!
Anak atau orang yang tidak bisa diam cenderung diasosiasikan dengan ADHD, padahal tidak selalu demikian. Memang beberapa gejala ADHD bisa dikenali dengan perilaku hiperaktif, sulit berkonsentrasi, dan tidak sabaran, tetapi diperlukan pemeriksaan oleh tenaga profesional untuk menegakkan diagnosis ini, sehingga penanganan yang sesuai bisa diberikan sedini mungkin.
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah suatu gangguan perkembangan saraf yang paling sering terjadi, dan cukup banyak diteliti. Kondisi ini terjadi sejak masih anak-anak dan akan menetap seumur hidup penderitanya.
ADHD akan menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi, berpikir, maupun bertindak. Sebab sering dinormalkan sebagai kenakalan anak-anak, pasien ADHD tidak terdiagnosis dan ditangani dengan tepat sedini mungkin. Padahal, ada beberapa penanganan yang bisa meringankan gejala penyakit ADHD, sehingga tidak menjadi komplikasi pada kehidupan penderitanya.
Baca juga: Mengenal OCD: Lebih dari Sekadar Obsesi Akan Kerapihan
Gejala ADHD umumnya muncul saat anak berusia 3 tahun, atau sebelum anak berusia 12 tahun, yang akan makin parah saat penderitanya memasuki masa pubertas. ADHD pada anak umumnya didominasi dengan gejala hiperaktif. Sedangkan pada orang dewasa, penyakit ADHD akan lebih didominasi dengan gejala kesulitan memusatkan perhatian.
Berikut ini adalah beberapa gejala ADHD secara umum:
Penderita ADHD umumnya mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi dan menentukan prioritas, sehingga sekolah maupun pekerjaannya akan mengalami masalah. Orang dengan penyakit ADHD juga akan menemukan masalah dalam membangun relasi, baik dengan teman maupun pasangan, karena sifat mereka yang mudah emosi atau ‘sumbu pendek’.
Baca juga: Anxiety Disorder, ketika Kecemasan Sudah Mengganggu Keseharian
Sebagai salah satu kondisi yang terjadi akibat gangguan perkembangan saraf, penyebab DHD adalah adanya kelainan struktur dan aktivitas otak bagian depan (lobus frontal). Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi diduga terjadi karena kombinasi beberapa faktor (multifaktorial), meliputi:
Faktor genetik, atau keturunan, termasuk memiliki ibu, ayah, atau saudara kandung yang menderita ADHD atau gangguan mental lain.
Gangguan tumbuh kembang termasuk kerusakan pada otak yang terjadi sewaktu bayi masih dalam kandungan.
Faktor lingkungan, terutama paparan timbal, maupun zat beracun lain, dari lingkungan sewaktu masa kanak-kanak.
Meski belum diketahui pasti penyebabnya, ada beberapa kondisi yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami ADHD. Berikut ini adalah beberapa faktor risiko ADHD yang dimaksud:
Yang jelas, penyakit ADHD pada anak tidak disebabkan oleh alergi, imunisasi, konsumsi gula berlebih, terlalu lama bermain atau menggunakan gadget, pola asuh yang salah, dan status ekonomi.
Baca juga: Panic Attack: Gejala, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
Proses diagnosis penyakit ADHD agak sulit dilakukan saat dewasa, karena beberapa gejalanya seringkali menyerupai kondisi lain, seperti gangguan kecemasan maupun gangguan mood. Selain itu, ADHD pada dewasa juga biasanya disertai dengan, setidaknya 1, kondisi medis lain, seperti kecemasan atau depresi.
Saat masih kecil pun gejala ADHD sering diartikan sebagai tingkah pola normal anak yang sehat. Sehingga orang tua sering mengabaikan gejala ini. Akibatnya, kondisi ini berlangsung bahkan menyebabkan komplikasi hingga pasien menginjak usia dewasa.
Untuk itu, proses menegakkan diagnosis ADHD dilakukan dengan menggabungkan hasil dari beberapa pemeriksaan, termasuk anamnesa psikiatri, pemeriksaan fisik, dan yang terpenting mengikuti kriteria diagnostik yang ditetapkan oleh DSM-5-TR berupa:
Dokter spesialis kesehatan jiwa juga mungkin meminta dilakukan tes darah untuk mengetahui kadar hormon tiroid, fungsi hati, maupun MRI untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kondisi medis lain yang menjadi penyebab keluhan.
Selain menegakkan ADHD, diagnosis yang dilakukan oleh dokter juga bertujuan untuk menentukan derajat keparahannya, serta mencari tau adanya komplikasi maupun kondisi medis maupun gangguan mental lain yang menyertai.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Mental Generasi Sandwich
Setelah dipastikan mengalami penyakit ADHD dan dinilai keparahannya, dokter akan memberikan penanganan ADHD yang sesuai. Dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan, dokter akan meresepkan obat-obatan maupun psikoterapi untuk mengatasi ADHD, dengan mengurangi dan mengontrol gejalanya, karena kondisi ini tidak bisa disembuhkan.
Pengobatan ADHD yang dilakukan oleh dokter adalah dengan meresepkan metilfenidat, yang termasuk dalam golongan obat stimulan. Obat ini akan bekerja dengan mengembalikan senyawa kimia di otak, sehingga pasien akan lebih mampu mengendalikan emosi, suasana hati, berperilaku, meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, serta mengembalikan siklus tidur.
Untuk memaksimalkan pengobatan ADHD, psikiater juga akan menyarankan pasien untuk menjalani terapi psikologis, baik dengan teknik CBT (terapi perilaku kognitif), psikoedukasi, terapi interaksi sosial, maupun konseling pernikahan.
Keberhasilan penanganan ADHD sangat bergantung pada support system, termasuk pasangan, keluarga, kerabat, pendidik, pengasuh, maupun teman kerja, yang baik. Sebab ADHD seringkali membuat penderitanya, termasuk anak mengalami, merasa frustasi, yang tak jarang berkembang menjadi depresi, akibat gejala yang dialaminya. Pada kondisi inilah dukungan support system sangat diperlukan.
Baca juga: Mengajarkan Tanggung Jawab pada Anak
Selain depresi, komplikasi ADHD yang mungkin terjadi tanpa adanya penanganan yang tepat adalah sebagai berikut ini:
ADHD sering terjadi bersamaan dengan kondisi kesehatan mental yang lain, seperti gangguan suasana hati (mood) , gangguan kecemasan, dan gangguan kesehatan mental lain, maupun gangguan belajar. Jadi harus ditangani dengan tepat, jangan disepelekan.
Periksa ke psikiater bukan selalu menandakan Anda gila atau lemah, penanganan yang diberikan psikiater justru bisa mengatasi masalah kesehatan mental sedini mungkin, termasuk ADHD. Sebab banyak kondisi yang mirip dari kondisi ini, seperti hiperaktif, impulsif, kesulitan berkonsentrasi, maupun beberapa kondisi lain.
Jangan ragu untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis kesehatan jiwa di RS Pondok Indah cabang terdekat untuk memastikan kondisi yang tengah Anda alami. Dokter jiwa kami akan menilai dan memberikan penanganan yang sesuai dengan kondisi Anda. Baik disebabkan oleh ADHD maupun tidak, dokter jiwa di RS Pondok Indah akan memberikan penanganan seoptimal mungkin secara komprehensif demi kesehatan psikis maupun fisik Anda.
Baca juga: Mendekati Si Anak Tidak Bisa Diam
Secara umum, ADHD bisa dibedakan menjadi 3 tipe, yakni:
Mengenali tipe ADHD penting untuk memberikan penanganan yang tepat.
ADHD biasanya terlihat lebih nyata pada anak usia 3 hingga 12 tahun. Gejalanya meliputi sulit memusatkan perhatian, hiperaktif, dan impulsif. Diagnosis biasanya dilakukan oleh ahli setelah evaluasi menyeluruh. Deteksi dini sangat penting agar intervensi yang tepat bisa dilakukan sejak awal, serta memastikan tumbuh kembang anak optimal.
Anak dengan ADHD tidak nakal, melainkan mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas yang membuat mereka sulit mengikuti instruksi, beraktivitas berlebihan, atau impulsif. Kondisi ini memerlukan penanganan khusus dan pemahaman, bukan dianggap kenakalan.
Anak dengan penyakit ADHD perlu dukungan dan terapi untuk membantu anak menjalani hidup serta mengelola gejalanya dengan maksimal.
Anak dengan ADHD bisa sekolah di sekolah reguler, tetapi membutuhkan dukungan dari guru, orang tua, serta tenaga ahli. Dengan intervensi yang tepat, anak ADHD dapat berkembang dan berprestasi di sekolah normal.
Ya, ADHD bisa berlanjut hingga dewasa. Gejalanya mungkin berubah, seperti kesulitan fokus, masalah pengelolaan waktu, dan impulsif. Banyak penderita ADHD tidak terdiagnosis saat kecil, dan baru merasakan dampaknya saat sudah lebih dewasa.
Referensi: