Oleh Tim RS Pondok Indah
Perbedaan hiperaktif dan autisme bisa dilihat dari rentang fokus penderitanya. Anak hiperaktif cenderung kesulitan memfokuskan perhatiannya, kebalikan dari anak autis.
Hiperaktif dan autisme sering kali susah dibedakan, hingga diagnosis ditegakkan oleh dokter anak. Kedua kondisi ini memang bisa membuat penderitanya sulit berkonsentrasi dan berkomunikasi. Namun ada beberapa perbedaan hiperaktif dan autisme yang perlu diketahui, sebelum membawa si kecil ke dokter.
Hiperaktif atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), merupakan gangguan perkembangan saraf yang mempengaruhi perkembangan otak anak. Gejala ADHD umumnya akan terlihat pada anak sebelum berusia 12 tahun, tepatnya saat berusia 3-6 tahun. Adapun gejala yang muncul, yaitu sulit fokus, tidak bisa diam (hiperaktif), dan bertindak impulsif.
Sementara autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang mempengaruhi cara anak berpikir, berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku. Autisme merupakan suatu spektrum karena memiliki gejala yang beragam. Umumnya, gejala autisme bisa muncul sejak bayi baru lahir atau balita.
Beberapa gejala anak autis yang paling sering dikeluhkan oleh orang tuanya adalah menghindari kontak mata, tidak merespons saat namanya dipanggil, tidak menunjukkan ekspresi dari berbagai emosi yang dirasakan, dan tidak berminat untuk melakukan interaksi dengan orang lain pada usia 15 bulan.
Secara umum, baik hiperaktif dan autisme memiliki sejumlah perbedaan yang membuat penderitanya perlu bimbingan khusus dari orang tua. Baik anak autis maupun yang menderita hiperaktif, sekilas tampak sama seperti anak normal pada umumnya. Namun, agar tidak salah dan terlambat memberikan arahan bagi tumbuh kembangnya, berikut ini adalah perbedaan hiperaktif dan autisme yang perlu diketahui:
Perbedaan autisme dan hiperaktif yang pertama adalah terkait kemampuannya untuk fokus atau memperhatikan sesuatu.
Anak autis cenderung akan lebih fokus untuk melakukan hal yang ia sukai, misalnya melihat baling-baling atau kipas angin. Selain itu, anak dengan autisme menyukai rutinitas yang jelas dan kegiatan yang berulang-ulang.
Sementara anak dengan ADHD sulit untuk melakukan suatu kegiatan hingga tuntas, baik yang disukai atau tidak disukai. Anak hiperaktif cenderung terlihat cepat bosan, tidak menyukai rutinitas atau kegiatan berulang, dan mencari aktivitas baru, karena ia sulit untuk tetap diam dan fokus pada satu kegiatan saja.
Kemampuan komunikasi dan bersosialisasi juga dapat membedakan autisme dengan hiperaktivitas pada anak.
Anak autis cenderung sulit berinteraksi dengan orang lain, termasuk untuk mengungkapkan pikiran maupun perasaan mereka. Anak autis kerap kesulitan untuk melakukan kontak mata dengan orang lain. Namun, dalam topik tertentu yang ia sukai, anak autis bisa berbicara selama berjam-jam.
Sementara, dari segi komunikasi, anak hiperaktif justru tidak bisa berhenti berbicara yang membuatnya terkesan cerewet atau bawel. Anak dengan kondisi ini cenderung sering menyela ketika orang lain berbicara atau mencoba untuk memonopoli percakapan.
Anak autis menyukai melakukan kegiatan berulang, misalnya berjalan mondar mandir dengan pola yang sama, berputar-putar di tempat, atau lompat terus-terusan. Kondisi ini biasanya membuat anak menyukai kegiatan atau rutinitas yang lebih tertata dan tidak berubah-ubah.
Sebaliknya, anak hiperaktif tidak menyukai kegiatan berulang (repetitif) karena cenderung mudah bosan, tidak bisa diam, dan tidak fokus pada satu kegiatan saja sampai selesai. Jadi, anak hiperaktif akan cepat sekali berganti kegiatan dalam satu waktu. Contohnya, setelah membaca buku selama beberapa detik, ia akan meletakkannya dan berjalan mondar-mandir, lalu detik berikutnya ia sudah melompat-lompat.
Baik autisme dan hiperaktif akan mengganggu perkembangan motorik anak. Autisme akan membuat penderitanya mengalami keterlambatan perkembangan motorik secara umum. Sedangkan hiperaktif secara spesifik akan menghambat perkembangan motorik halus anak.
Perkembangan motorik halus yang terhambat pada anak hiperaktif lebih banyak ditemukan sebagai kesulitan mengancingkan baju, maupun menulis. Sedangkan anak autis biasa tampak lebih nyata keterlambatan perkembangannya, karena kesulitan untuk naik turun tangga atau menangkap bola.
Jadi, jangan buru-buru melabeli anak dengan kata-kata negatif, seperti “anak nakal” atau “anak malas”, karena bisa saja anak mengalami kesulitan untuk melakukan suatu keahlian tertentu karena mengalami gangguan perkembangan motorik akibat autisme atau hiperaktif.
Pastikan untuk membawa si kecil diperiksa dan ditangani oleh dokter spesialis anak di RS Pondok Indah cabang terdekat bila Anda mencurigai adanya keterlambatan motoriknya selama beraktivitas di rumah maupun sekolah. Dengan penanganan yang teoat, tumbuh kembang anak bisa diusahakan untuk tetap sesuai dengan usianya.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Down Syndrome, Ketahui Penyebab, Gejala, dan Penanganannya
Autisme dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah dua kondisi gangguan perkembangan saraf yang tampak serupa, tetapi tidak sama. Autisme lebih nyata dalam gangguan interaksi sosial dan komunikasi serta kecenderungan utnuk melakukan kegiatan yang berulang. Sedang ADHD ditandai dengan kesulitan untuk memusatkan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas.
Bila si Kecil mulai menunjukkan gejala autisme atau ADHD, jangan menunda untuk memeriksakannya ke dokter spesialis anak. Sebab dengan pemeriksaan dan penanganan dini dari dokter perkembangan si Kecil bisa diusahakan sesuai dengan usia.
Anak dengan autisme dapat menunjukkan perilaku hiperaktif. Namun, hiperaktivitas sendiri bukanlah ciri khas dari autisme. Hiperaktivitas pada anak autis bisa muncul sebagai perilaku berulang atau minat yang intens pada suatu hal.
Perbedaan antara anak dengan ADHD dan anak dengan energi tinggi terletak pada kemampuan mereka untuk fokus dan menjalani keseharian. Anak dengan ADHD biasanya kesulitan berkonsentrasi dan cenderung impulsif, sehingga mengalami kesulitan menjalani kegiatan sehari-hari, seperti belajar.
Sedangkan anak dengan energi tinggi memang terlihat aktif dan penuh semangat, tetapi mereka bisa tetap fokus melakukan suatu kegiatan hingga tuntas dan tidak memiliki masalah dalam menjalani aktivitas harian.
Usia tersulit bagi anak dengan ADHD biasanya di sekitar umur 12 hingga 16 tahun, atau ketika mereka duduk di bangku SMP dan SMA. Kondisi ini memang biasanya mulai terdeteksi pada usia 3 hingga 12 tahun, tetapi gejalanya cenderung makin parah saat penderitanya memasuki masa pubertas.
Selain itu, pada usia tersebut, tuntutan akademis dan sosial pada anak akan terus meningkat. Akibatnya, mereka mungkin merasa frustasi karena kesulitan saat belajar di sekolah dan dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Oleh sebab itu, anak-anak dengan ADHD sangat membutuhkan dukungan sosial dan penanganan medis agar dapat melewati fase hidup ini dengan baik.
Referensi: