Oleh Tim RS Pondok Indah
Skizofrenia adalah gangguan kesehatan mental yang memengaruhi tingkah laku, emosi, dan kemampuan komunikasi. Penderitanya perlu mendapatkan penanganan yang sesuai.
Orang yang mengalami skizofrenia sering dianggap berbeda, aneh, bahkan dilabeli sebagai ‘orang gila’. Tak jarang kondisi ini dikaitkan dengan kutukan, yang bahkan bisa menular hanya dengan berdekatan dengan penderitanya. Akibatnya, penderita skizofrenia sering dikucilkan, bahkan menjadi sasaran kekerasan maupun bullying.
Padahal dengan penanganan yang tepat, gejala skizofrenia bisa dikendalikan dan penderitanya pun bisa kembali bekerja serta menjalankan fungsinya sebagai manusia, sebagaimana mestinya.
Skizofrenia adalah gangguan kesehatan mental yang memengaruhi tingkah laku, emosi, dan kemampuan komunikasi penderitanya. Gangguan kejiwaan ini penderitanya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.
Penderita skizofrenia juga bisa mengalami gejala psikosis, atau ketidakmampuan membedakan realita dan imajinasinya. Karena alasan inilah skizofrenia juga dikenal dengan istilah ‘orang gila’ di kalangan masyarakat.
Baca juga: Kenali ADHD, Bukan Sekadar Tidak Bisa Diam
Skizofrenia bisa saja dialami oleh pria maupun wanita. Namun, pria biasanya menunjukkan gejala skizofrenia lebih awal, yakni sekitar usia 20-an, sedangkan wanita biasa pada usia 30-an.
Penderita skizofrenia umumnya tidak akan menyadari bahwa dirinya mengalami gejala. Mereka juga sering kali tidak merasakan ada yang salah dengan cara pikir, perilaku, maupun kondisinya secara umum. Namun, perubahan ini akan disadari oleh pasangan, keluarga, kerabat, sahabat, maupun orang terdekatnya.
Secara umum, gejala skizofrenia bisa dibedakan menjadi gejala positif dan negatif. Gejala positif gangguan mental menunjukkan adanya perubahan pada pola pikir dan perilaku penderitanya, berupa:
Merupakan suatu keyakinan yang bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya, meskipun semua orang bahkan bukti menyatakan hal sebaliknya. Kondisi yang juga dikenal sebagai waham ini biasanya memiliki objek yang memicu gejalanya. Delusi akan menyebabkan penderita skizofrenia merasa seperti sedang dikejar, diawasi, maupun dikendalikan.
Membuat seseorang merasakan, mendengar, melihat, mengecap, maupun menyentuh, sesuatu kondisi yang tidak nyata. Penderita skizofrenia paling sering mengalami halusinasi pendengaran, berupa bisikan dari orang yang tidak nyata atau tidak bisa dideskripsikan sumbernya.
Kondisi ini biasa dikenali sebagai jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan yang diberikan, atau komunikasi yang tidak berjalan 2 arah. Jawaban yang diberikan penderita skizofrenia bahkan terkadang tidak bisa dipahami, karena tidak terdapat benang merah antar kata yang diucapkannya, yang dikenal dengan word salad.
Selain bicara yang tidak koheren, penderita skizofrenia juga bisa saja melakukan perpindahan topik pembicaraan yang tidak berkaitan dengan topik sebelumnya.
Gerak-gerik yang dilakukan secara tiba-tiba, tanpa adanya kondisi pemicu, bisa menjadi salah satu gejala skizofrenia. Selain itu, pasien skizofrenia juga bisa saja merasa tersinggung, bahkan marah karena suatu gerakan yang dilakukan oleh orang lain, yang sebenarnya gerakan ini adalah hal yang wajar (misalnya tersenyum atau menyilangkan kaki).
Selain itu, perilaku yang inkoheren juga bisa membuat pasien yang menderita skizofrenia tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama.
Sedangkan gejala negatif skizofrenia yang lebih mengacu pada hilangnya ekspresi, keinginan, dan motivasi penderitanya. Gejala ini biasa terjadi beberapa tahun sebelum kondisi ditegakkan, tetapi seringkali diabaikan karena dianggap hal yang wajar. Padahal gejala negatif ini akan memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Beberapa gejala tersebut bisa ditandai dengan:
Beberapa gejala tersebut akan menyebabkan orang dengan skizofrenia menjadi:
Jadi, sebaiknya segera bawa orang terkasih atau terdekat Anda ke dokter spesialis kedokteran kesehatan jiwa untuk mendapatkan penanganan yang sesuai, sebelum munculnya komplikasi.
Baca juga: Mengenal OCD: Lebih dari Sekadar Obsesi Akan Kerapihan
Berdasarkan gejalanya, jenis skizofrenia dibedakan menjadi 5 kelompok, yakni:
Memiliki gejala halusinasi dan delusi yang dominan, sehingga menyebabkan penderita jenis skizofrenia ini menjadi lebih waspada, curiga, serta bersikap agresif maupun defensif.
Penderita jenis skizofrenia ini lebih didominasi dengan adanya gangguan gerak sebagai gejalanya. Anda bisa mengenali pasien skizofrenia katatonik dengan postur kaku dan sama yang dilakukan untuk waktu yang lama, atau melakukan gerakan-gerakan yang cepat dan tiba-tiba, tetapi tidak bertujuan.
Anda juga bisa mengubah posisi atau postur tubuh pasien layaknya membentuk lilin mainan.
Merupakan kondisi yang menunjukkan kombinasi beberapa gejala, antara delusi, halusinasi, pikiran tidak koheren, dan gangguan perilaku.
Akan dikenali sebagai penarikan diri dari kehidupan sosial, kurangnya inisiatif, respon emosi datar atau tumpul, dan kurang mampu berkomunikasi dengan efektif.
Yang dikenali dengan gejala kekacauan pikiran, afek (atau ekspresi wajah) yang datar, pola bicara yang aneh, emosi atau respon yang tidak sesuai, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, penderita jenis ini tidak mengalami halusinasi maupun delusi.
Selain itu dikenal juga kelainan skizoafektif yang umumnya mengalami delusi (waham) dan gejala skizofrenia lainnya, tetapi juga disertai dengan satu atau lebih gejala gangguan mood. Ini termasuk depresi serta mania atau hipomania.
Namun, jenis skizofrenia ini tidak lagi digunakan karena terbukti tidak berguna. Sebab beberapa gejala yang tumpang tindih antar jenis skizofrenia. Yang penting adalah menegakkan diagnosis untuk mendapatkan penanganan yang tepat sedini mugkin dari dokter spesialis kesehatan jiwa yang kompeten.
Baca juga: Anxiety Disorder, ketika Kecemasan Sudah Mengganggu Keseharian
Hingga saat ini tidak ditemukan pasien skizofrenia yang disebabkan oleh 1 penyebab saja. Terjadinya skizofrenia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penyebab skizofrenia yang dimaksud adalah sebagai berikut ini:
Selain kombinasi dari beberapa kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, skizofrenia juga lebih berisiko dialami oleh mereka yang memiliki kondisi tertentu. Berikut ini adalah beberapa faktor risiko skizofrenia yang dimaksud:
Meski tidak terbukti dengan pasti, Anda yang memiliki orang tua maupun saudara kandung dengan skizofrenia, akan memiliki risiko mengalami kondisi serupa yang lebih besar.
Infeksi virus, paparan dengan zat beracun, maupun kejadian yang memicu stres parah juga bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami skizofrenia.
Termasuk diabetes dan infeksi saat hamil, maupun preeklampsia dapat memengaruhi tumbuh kembang otak bayi saat masih dalam kandungan. Selain itu, bayi yang lahir dengan asfiksia maupun prematur juga lebih berisiko mengalami gangguan tumbuh kembang otak akibat berkurangnya nutrisi dan oksigen pada otak di awal kehidupannya.
Orang yang menyalahgunakan narkoba, terutama ganja, diketahui lebih berisiko mengalami skizofrenia.
Baca juga: Mendekati Si Anak Tidak Bisa Diam
Dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis skizofrenia,. Dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan psikiatri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dokter akan menentukan keparahan kondisi untuk pertimbangan penanganan yang tepat.
Kriteria diagnostik berdasarkan DSM-5 juga menjadi kunci dalam menegakkan diagnosis skizofrenia. Berikut ini adalah kriteria diagnostik tersebut:
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kondisi medis yang menyebabkan keluhan ini. Beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan:
Baca juga: Menjaga Kesehatan Mental Generasi Sandwich
Tujuan penanganan terapi skizofrenia bukanlah menyembuhkan, tetapi mengontrolnya. Pengobatan skizofrenia yang tepat dan dilakukan secara teratur bisa membuat penderitanya pulih dari gejala yang terjadi. Namun, tidak bisa dipastikan kapan kambuhnya gejala skizofrenia.
Penanganan yang diberikan oleh dokter, akan disesuaikan dengan jenis, gejala, dan keparahan skizofrenia yang dialami, serta kondisi kesehatan pasien secara umum.
Umumnya dokter akan meresepkan obat-obatan skizofrenia yang digabungkan dengan terapi psikologi. Berikut ini adalah beberapa upaya penanganan skizofrenia yang umumnya dilakukan secara kombinasi untuk hasil pengobatan terbaik:
Dokter biasa akan meresepkan obat antipsikotik sebagai bentuk pengobatan skizofrenia, yang akan bekerja dengan cara menyeimbangkan kadar senyawa kimia di otak, sehingga gejala skizofrenia pun bisa dikendalikan.
Seringkali, obat-obatan antipsikotik harus tetap dikonsumsi secara teratur untuk seumur hidup meski gejala sudah membaik. Tujuannya adalah untuk mengendalikan gejala agar penderita skizofrenia dapat tetap menjalani hidup dengan produktif.
Terapi psikologi (psikoterapi), baik dengan CBT, remediasi kognitif maupun terapi individu, yang dilakukan dengan tujuan untuk membantu pasien menerima kondisinya, mengubah serta mengendalikan pola pikirnya. Dengan demikian, pengobatan bisa lebih maksimal dan pasien bisa kembali beraktivitas dengan normal.
Transcranial magnetic stimulation (TMS)dilakukan dengan mengalirkan gelombang listrik ke kepala pasien dengan menempelkan alat khusus, tanpa memerlukan tindakan operasi. Prosedur ini lebih efektif untuk mengurangi gejala negatif skizofrenia. Psikiater bisa bekerjasama dengan dokter spesialis neurologi untuk memberikan penanganan ini.
Electroconvulsive therapy (ECT) dilakukan dengan memberikan aliran listrik ke otak, guna memicu terjadinya kejang yang terkendali untuk durasi yang sangat singkat. Psikiater akan menyarankan ECT pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian obat-obatan antipsikotik.
Dokter juga mungkin meresepkan obat-obatan lain untuk meredakan gejala lain yang dialami pasien, maupun untuk meredakan efek samping pengobatan, seperti tremor.
Baca juga: Depresi pada Pekerja Urban, Bagaimana Mengenali Gejalanya?
Tanpa penanganan yang tepat, skizofrenia bisa menyebabkan terjadinya komplikasi, berupa:
Skizofrenia juga menjadikan penderitanya memiliki hambatan dalam berelasi dengan sesama, termasuk dengan keluarga, teman sekolah, teman kerja, maupun lingkungan sekitarnya. Akibatnya, penderita skizofrenia sering mengalami kendala dengan prestasinya di sekolah, bahkan mengalami masalah ekonomi.
Selain itu, stigma negatif yang melekat pada penderita skizofrenia di masyarakat sering menyebabkan orang yang mengalami kondisi ini menjadi terisolasi. Padahal dengan penanganan yang tepat, kondisi ini bisa dikontrol dan penderitanya bisa bebas gejala serta berfungsi secara normal sebagai bagian dari suatu masyarakat.
Tak jarang penderita skizofrenia mengalami gangguan kesehatan yang menyertai, seperti infeksi, kencing manis (diabetes), maupun penyakit jantung koroner. Bagi mereka yang mengalami komplikasi kesehatan ini, sebaiknya penanganan diberikan secara komprehensif oleh dokter spesialis kesehatan jiwa, untuk hasil yang optimal.
Baca juga: Memahami Cara Penanganan Gagap pada Orang Dewasa
Ciri-ciri skizofrenia biasanya muncul pada akhir masa remaja hingga awal dewasa muda, sekitar usia 20-30 tahun. Gejala awal meliputi perubahan perilaku, menarik diri dari lingkungan sosial, delusi, halusinasi, dan kesulitan dalam berpikir atau berbicara secara jelas.
Skizofrenia dikategorikan sebagai gangguan jiwa berat karena menyebabkan gangguan serius pada cara berpikir, emosi, dan perilaku.
Penderita gangguan mental ini akan mengalami delusi, halusinasi, serta kesulitan dalam berpikir logis dan menjaga hubungan sosial. Tanpa penanganan yang tepat, skizofrenia bisa mengakibatkan disabilitas dan penurunan kualitas hidup dalam jangka panjang.
Orang dengan skizofrenia bisa hidup normal dengan perawatan dan dukungan yang tepat. Meskipun tidak dapat sembuh sepenuhnya, gejala skizofrenia dapat dikelola dengan pengobatan, terapi, dan dukungan dari orang sekitar.
Penting juga untuk memulai perawatan sedini mungkin dan berkonsultasi rutin dengan tenaga medis terkait untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dalam jangka panjang.
Cara berbicara dengan anggota keluarga yang menderita skizofrenia adalah dengan tetap tenang, sabar, dan penuh empati. Hindari menggunakan nada menghakimi dan dengarkan mereka dengan aktif. Selain itu, pastikan untuk menggunakan kalimat sederhana, jelas, dan langsung untuk menghindari kebingungan.
Jika diperlukan, libatkan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater untuk membantu komunikasi yang lebih efektif.
Dokter spesialis kesehatan jiwa di RS Pondok Indah akan memberikan pelayanan komprehensif, yang tidak hanya berfokus pada gejala dan keparahan skizofrenia, tetapi juga kesehatan fisik secara umum.
Bila perlu, psikiater juga akan bekerja bersama tim terkait untuk mengatasi kondisi kesehatan pasien skizofrenia dengan maksimal.
Referensi: